TUBERKULOSIS (TB) PARU
Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa
Masalah Kesehatan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).
Hasil Anamnesis (Subjective)
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah).
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagisewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak). Kriteria Diagnosis Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
Standar Diagnosis
1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma release assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan
uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan kultur.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan:
1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan
1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol.
a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.
2. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat rifampisin dan isoniazid
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan).
b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program) atau tiap hari (obat non program).
c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.
3. OAT sisipan : HRZE
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan
Kriteria Rujukan
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)
5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
2. Radiologi
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
Comments
Post a Comment
Mohon kritik dsn saran yang membangun dari pembaca