Respiratory Distress Syndrome atau Hialin Membrane Disease

1. Definisi
Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan penyebab morbiditas utama pada anak. Sindrom ini paling sering ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi <28 minggu. Selain itu, penyakit ini juga disebut sebagai membrane hyaline disease (HMD). Angka kejadian RDS pada bayi dengan usia gestasi 28 minggu sebesar 60-80%, pada usia gestasi 30 minggu sebesar 25%, pada usia 32-36 minggu sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai.
Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi karena pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan. Tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan gagal nafas pada neonatus.

2. Epidemiologi
Di negara maju PMH terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian neonatus. Di Amerika Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang artinya 4000 bayi mati akibat SGNN setiap tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan 150.000 bayi di antaranya menderita SGNN, dan sebagian besar berupa PMH.

3. Etiologi
RDS sering terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.

4. Faktor Risiko
Faktor – faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan terjadinya RDS antara lain sbb.
a. Prematuritas
b. Masa kehamilan
c. Jenis kelamin
d. Ras
e. Riwayat kehamilan sebelumnya
f. Bedah Cesar
g. Diabetes
h. Ketuban pecah dini
i. Penyakit ibu.

4. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda klinis yang ditemui pada SGNN adalah: dispnu, merintih (grunting), takipnu (pernafasan lebih 60x/menit), retraksi dinding toraks dan sianosis. Gejala – gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah lahir dengan derajat yang berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom gawat nafas sudah nyata pada usia 4 jam. Tanda yang hampir selalu didapat adalah dispnu yang akan diikuti dengan takipnu, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis.

5. Pemeriksaan Penunjang
Selain berdasarkan gejala klinis, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, foto dada, elektrokardiografi, ekokardiografi, angiokardiografi. Pemeriksaan penunjang dengan foto dada masih merupakan prosedur yang amat penting dalam mendiagnosis kelainan kardiovaskular. Keunggulan ekokardiografi dalam mendiagnosis kelainan jantung adalah kemampuan dalam memberi informasi mengenai status perikardium, miokardium, endokardium dan katup jantung. Doppler berguna untuk menegakkan kelainan struktur jantung dan pembuluh darah, menetapkan atau memperkirakan derajat kelainan katup dan hemodinamik, dan menilai keterlibatan kardiovaskular karena penyakit lain. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan analisis gas darah. Pada pemeriksaan kimia darah akibat adanya asidosis metabolik pada bayi akan terlihat peninggian asam laktat dan asam organik lain.

Gambaran radiologis kelainan paru pada PMH dibagi atas 4 derajat yaitu 
a. Derajat 1 pola retikulogranular (PRG)
b. Derajat 2 bronkogram udara (BGU)
c. Derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan mediastinum melebar
d. Derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak putih (white lung)

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan rasio L/S (lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air ketuban yang diperoleh dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi trakea dan lambung, dan deteksi fosfatidil gliserol yang menunjukkan kematangan paru.



6. Penatalaksanaan
Bayi dengan respiratory distress syndrome membutuhkan pemberian cairan secara tepat. Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan hiponatremia dan kelebihan cairan. Hal tersebut memperburuk kondisi paru, sedangkan asupan cairan yang kurang menyebabkan hipernatremia dan dehidrasi.

Semua bayi baru lahir mengalami diuresis pasca lahir. Awitan (onset) diuresis tersebut dapat mengalami sedikit keterlambatan pada bayi yang mengalami sindrom distres pernapasan. Perubahan komposisi tubuh yang berhubungan dengan perbaikan sindrom distres pernapasan dapat dinilai dari beberapa pengukuran terhadap rongga cairan tubuh yaitu volume plasma dengan cara dilusi evans blue, volume ekstraselular dengan cara dilusi sukrosa atau dilusi bromida, dan total air di dalam tubuh dengan cara dilusi deuterium
oksida.

Pengurangan cairan ekstraselular dapat dilakukan dengan cara memberi asupan energi/protein secara agresif. Hal ini akan menyebabkan pergeseran cairan ekstra ke intraselular, sehingga penurunan berat badan tidak terjadi. Bayi prematur yang mengalami asfiksia perinatal dapat mengalami gangguan sistem multi-organ. Bayi tersebut cenderung mengalami acute tubular necrosis dan oliguria yang signifikan.




Referensi:
Ramona Tobing. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1, Juni 2004: 40-46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXXI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta. Doctors without Border: Recent Advances in Pediatrics. 2016

Algoritma Tatalaksana RDS



Comments